Oleh Ichsan Hidajat
Saat ini, kita semua sudah kenyang
membaca potongan-potongan berita tentang bagaimana Covid-19 menyingkap rekah
dalam sistem pendidikan kita, bahwa sekolah mulai mengubah persepsi dengan menata
ulang pembelajaran dan menetapkan penilaian berdasarkan dukungan keluarga dan
sumber daya teknologi, dan bagaimana ketaksamaan status sosial memberi ciri
dalam penampilan belajar siswa.
Kini kabar pembukaan kelas mulai
berdengung. Dan sekonyong-konyong saya ingin bertanya: Apa yang bakal kita lakukan tatkala pembelajaran di kelas tradisional
dilanjutkan? Adakah hikmah yang dapat kita pungut dari pengalaman pandemi dan
mengadopsinya ke dalam situasi pembelajaran?
Selama BDR (belajar dari rumah) kebutuhan
akan akses broadband dan dukungan keluarga
di rumah merupakan isu yang penting untuk ditangani. Sayangnya, kedua hal
tersebut tidak dapat dikelola secara langsung oleh guru kelas. Kita menyadari
bahwa selama kelas ditutup, guru perlu lebih luwes dalam standar penilaian
maupun pendekatan pembelajaran. Guru juga dituntut untuk mahir menetapkan
prioritas materi yang akan dipajankan. Akan tetapi kita juga tahu bahwa
realitas pembelajaran dan penilaian akan kembali seperti sediakala begitu kelas
dimulai kembali. Tanpa perjalanan pulang pergi dari rumah ke sekolah atau
kesibukan kegiatan ekstrakurikuler, saat ini guru memiliki waktu leluasa untuk
lebih memerhatikan satu persatu siswa, namun saya khawatir kerepotan manajemen
kelas akan memupuskan kebiasaan baru yang baik ini.
Berikut ini saya mendaftar beberapa hal
yang perlu guru rencanakan ketika pembelajaran kembali normal:
Tetap
gunakan teknologi daring untuk menyampaikan tugas, catatan, atau berbagi sumber
belajar. Jutaan siswa masuk ke Google Classroom
(atau platform pengelolaan kelas lainnya) untuk pertama kalinya pada
pertengahan Maret 2020. Dalam beberapa hari mereka diharapkan menjadi ahli dalam
pembelajaran berbasis Google itu. Hal yang tidak mudah. Demikian pula, sebagian
guru menghadapi kendala yang sama meski tidak separah itu. Sebagian guru lainnya
telah memanfaatkan sistem pembelajaran digital bertahun sebelumnya. Pada
prinsipnya, mengintegrasikan sumber belajar daring itu mudah, karena siswanya
telah memiliki Chromebook selama setahun lebih, tetapi bukan itu masalahnya. Masalahnya
adalah siswa tahu cara menggunakan smartphone
dan aplikasi tertentu, tetapi tidak begitu paham dalam hal teknologi berbasis
web.
Pembelajaran tatap muka akan dilakukan
secara terbatas, sehingga sekolah akan mengatur suatu pembelajaran campuran
(jarak jauh dan tatap muka). Masa-masa transisi ini dapat dimanfaatkan untuk
meneguhkan kemampuan siswa mengelola pembelajaran berbasis jaringan. Keandalan
siswa dalam mengelola platform pembelajaran daring akan mengantarkan mereka
pada kemandirian belajar – menemukan pola baru belajar yang tidak melulu
mengandalkan kehadiran guru, kemudian kelak hal ini akan menjadi bekal bagi
keberhasilan belajarnya di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.
Berhenti menilai tugas individu hanya untuk mengisi
buku nilai. Dalam situasi BDR, sistem pendukung
mereka - yaitu peran keluarga - menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya.
Dengan pemikiran tersebut, sekolah harus mengubah kerangka penilaian pembelajaran,
meminta guru agar mengutamakan pemberian umpan balik dan kesempatan untuk
mengoreksi pekerjaan, alih-alih pemberian skor.
Selama pandemi siswa lebih termotivasi
untuk memperbaiki tugas mereka, mencoba lagi, dan mengirim ulang. Hail ini
harus didukung oleh guru dengan tidak tergesa memberi nilai dan sebaliknya
memberikan umpan balik. Apakah ini berarti tidak ada nilai atau setiap siswa
mendapat nilai “Amat Baik!”? Tidak, tentu saja tidak. Selama kelas ditutup guru
mulai menyadari bahwa kualitas jawaban tugas itu lebih penting, dan bukan banyaknya
jumlah pertanyaan. Tugas yang lebih sedikit dengan umpan balik yang lebih
mendetail dapat membantu siswa tetap termotivasi, untuk kemudian memahami
materi dengan lebih menyeluruh. Guru, di lain pihak, juga merasakan berkurangnya
beban dan tekanan. Meskipun makan banyak waktu, menuliskan umpan balik terasa
jauh lebih menyenangkan dan melegakan daripada menandai benar salah pada kertas
tugas siswa.
Lebih dari itu, pemberian penghargaan
dan umpan balik yang membuka peluang bagi orang tua untuk turut berkontribusi
tentu akan lebih bermakna bagi keberhasilan belajar siswa.
Tetapkan
tes kinerja dan proyek rumahan. Dengan
tiadanya kelas tatap muka, guru seni sudah mulai memberikan tugas proyek video.
Siswa membuat koreografi tarian, adegan skrip, atau berlatih memainkan
instrumen musik kemudian merekam dan mengunggahnya. Siswa juga dapat diminta
memeragakan gerakan senam tertentu – berdasarkan video contoh dari gurunya. Hal
ini tidak hanya memungkinkan siswa untuk mendapatkan umpan balik secara
personal tanpa khawatir ditertawakan oleh rekan-rekan mereka, tetapi juga
mengajarkan mereka cara menggunakan platform yang perlu mereka kenal untuk seleksi
masuk ke sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Apabila diperhatikan dengan jeli,
guru akan menemukan bahwa kiriman video siswa telah menunjukkan kreativitas
yang mengesankan. Kreativitas itu tidak mungkin dapat terwujud dalam batasan dinding-dinding
kelas.
Kemudahan siswa dalam menemukan sumber
belajar di situs-situs internet juga akan membuka peluang bagi guru untuk
memberikan tagihan soal yang menuntut jawaban uraian, alih-alih pilihan ganda
atau jawaban singkat.
Bawa
profesional lain ke dalam lingkaran kelas. Berhentilah
menjadi satu-satunya narasumber di kelas. Bayangkan antusiasnya siswa bila guru
membawa profesional di luar pendidik ke dalam kelas. Guru drama bisa mengajak
aktor dan sutradara profesional. Mereka sangat senang merekam video untuk
siswa. Para penulis dapat membuat kunjungan sekolah virtual setiap saat. Demikian
juga dokter atau praktisi kesehatan lain. Para profesional ini tidak selalu
tersedia secara gratis, tetapi wawasan mereka sangat berharga bagi siswa. Para
profesional kreatif dapat mengajari siswa seperti apa realitas dalam bidang
mereka, di samping berkah ilmu dan pengalaman segar dari tangan pertama
Buat
jadwal yang lebih fleksibel. Sekolah
perlu mengatur jadwal pembelajaran daring yang lebih fleksibel dengan memberi
kesempatan siswa mengasah keterampilan manajemen waktu pribadi mereka.
Percayalah, ini akan menjadi bekal keberhasilan mereka di masa yang akan
datang.
Anak-anak yang berkembang dalam
lingkungan kelas yang dikontrol dengan ketat akan menghadapi kesulitan karena
mereka tidak pernah belajar bagaimana mengatur waktu mereka sendiri. Siswa yang
biasanya merasa tertahan di kelas yang sangat terstruktur akan merasa senang
karena mereka sekarang dapat mengendalikan bagaimana dan kapan mereka
menyelesaikan pekerjaan mereka. Selama ini metode manajemen waktu mengajar guru
bercirikan jadwal yang ketat dan tenggat waktu yang kaku. Saya sarankan agar
guru melibatkan siswa dalam menentukan jadwal belajar daring, mendiskusikannya
dengan wali kelas serta membuat komitmen.. Dengan sedikit bimbingan, siswa akan
dapat membuat linimasa sendiri dan mengelola beban kerja mereka sendiri.
Paksa
siswa untuk menggunakan teknologi "jadul ".
Akui saja, siswa mengenal seluk-beluk smartphone dan aplikasi tertentu, tetapi
mereka tidak begitu paham dalam hal teknologi berbasis web. Mereka dapat
mengirim pesan teks via Whatsapp tetapi tidak dapat mengirim email secara
profesional. Mereka membuat video TikTok yang mengagumkan, tetapi tidak tahu di
mana dokumen Word tersimpan secara otomatis. Mereka terbiasa merespon soal
dalam format googleform namun asing dengan dokumen Excel. Lingkungan kerja
tidak akan berkembang secepat revolusi teknologi. Anak-anak yang berencana
memasuki dunia kerja dalam dekade mendatang tetap perlu mengetahui cara
menggunakan Microsoft Office, memasukkan email dengan benar, dan memanfaatkan
teknologi untuk mengelola alur kerja mereka.
Sekolah dapat berperan mengenalkan “dagingnya”
teknologi daring agar siswa tidak hanya mahir pada ranah kulit luarnya saja.
Yang
saya anggap paling esensial adalah mengubah pola hubungan antara sekolah dan
orang tua siswa. Sekolah telah membuat komitmen dengan
orang tua siswa bahwa kegiatan belajar siswa telah menjelma bentuk baru, yaitu
siswa belajar di rumah. Peran keluarga dalam pendampingan siswa belajar menjadi
faktor utama keberhasilan. Selanjutnya orang tua berkomunikasi dengan sekolah
mengenai harapan-harapan, kemajuan belajar, kendala dan kejadian unik yang
dialami selama pendampingan di rumah. Hubungan guru-orang tua mencair ke dalam
format yang tidak lagi formal. Hal ini perlu dipertahankan dan bahkan
diperkuat. Komite sekolah dapat bergandengan tangan dengan sekolah untuk mereka
ulang format baru peran orang tua siswa tersebut. Tidak ada lagi pernyataan
bahwa keberhasilan belajar anak di sekolah ditentukan 100% oleh guru. Bahkan
sesungguhnya, penentu keberhasilan belajar anak adalah keluarga dan orang tua.
Bagaimanapun kelak bentuk ruang kelas ketika COVID-19 berkurang, kelas harus berbeda dari apa yang kita kelola sebelum gedung sekolah ditutup pada Maret 2020. Kelas harus berubah. Pengalaman pandemi tentu saja telah memberi kita cara pandang baru serta piranti untuk melayani siswa dengan lebih baik. Ketika pembelajaran tatap muka segera dimulai, mari pastikan kita membawa semua hikmah berharga itu untuk melangkah menata pendidikan yang semakin baik.
Tegal Loa, 5 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar